Kamis, 22 April 2010

climentie sebuah apresiasi bagi penegakan hukum di indonesia

CLIMENTIE

( PERMOHONAN KERINGANAN HUKUMAN )

T
E

R

D

A

K

W

A

SURYADI Bin ABDULLAH


DAKWAAN:

Pasal 340 KUHP

PENASEHAT HUKUM

HUSEN TUHUTERU, SH

PENGADILAN NEGERI TANGERANG

PERKARA PIDANA: PDM-055/01/2010

TANGGAL, 20 Maret 2010

A. Pendahuluan

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Sdr. Jaksa penuntut umum yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan.

Sebelum sampai pada isi Permohonan Keringanan Hukuman (Climentie) ini, maka perkenankanlah kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa mengajak kita sekalian untuk memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Karena atas perlidungan-Nya jualah, maka sampailah kita pada penghujung proses perkara ini.

Climentie yang nantinya diajukan tentu akan sangat mengundang pelbagai perspektif pemahaman serta keyakinan masing-masing di antara kita, akan tetapi sekelumit perbedaan keyakinan hukum kita tersebut seyogya-nya dalam sandaran alasan dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Karena meski seorang penjahat besar sekalipun yang akibat perbuatannya dengan nyata-nyata telah merugikan kepentingan umum, akan tetapi di dalamnya masih terdapat celah-celah yang dapat meringankan hukuman terhadap orang tersebut. Bahwa meskipun vonis terakhir yang dapat menentukan apakah terdakwa dapat dihukum atau tidak tersebut berada pada tangan Majelis Hakim, akan tetapi kiranya dalam akumulasi perasaan humanisme kita, dapatlah kita jumpai sebuah fakta sosiologis mengingat terdakwa sebagai sosok yang sangat diandalkan oleh keluarga sekaligus adalah tumpuan harapan untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Sdr. Jaksa penuntut umum yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan.

Adapun jika dalam Tuntutannya Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perbuatan terdakwa masuk kedalam katagori yang dimaksudkan di dalam Pasal 340 KUHP, maka menurut kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa, hal ini sungguh sangatlah berlebihan, karena apa yang dimaksudkan “Dengan Rencana lebih Dahulu” oleh M.v.T bahwa dalam proses pembentukan Pasal 340 disebut alasan-alasan mendasar antara lain:

“dengan rencana lebih dahulu, sangat diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berpikir dengan tenang, untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dia lakukan”

Oleh karena itu, jika berkaca pada fakta di dalam persidangan yang menunjukan bahwa terdakwa sama sekali tidak dalam keadaan berpikir atau menyadari secara langsung apa yang dilakukannya pada saat berada di atas motor bersama korban persisnya di Kp. Buaran Asem Desa Tanjung Anim Kec. Mauk Kabupaten Tangerang Tersebut; karena mana mungkin seseorang ketika berada di atas Motor dapat berpikir dengan tenang serta melakukan perbuatan hukumnya dalam keadaan mengontrol dirinya; Sehingga apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sangatlah berlebihan karena di dalam Fakta Persidangan sama sekali tidak menunjukan adanya unsur kesengajaan (Dolus) apalagi terdakwa tidak dalam keadaan tenang dalam berpikir sebagaimana yang dimaksudkan oleh M.v.T di atas; Apalagi apa yang disampaikan oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja ketika membahas tentang unsur “Dengan Rencana lebih Dahulu” beliau mengatakan bahwa:

ada suatu jangka waktu bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangan, untuk berpikir dengan tenang”; Bahwa selain itu untuk menjadi sandaran kami adalah perubahan di dalam RUU 1993 yang telah menghapuskan keberadaan Pasal 340 KUHP dan juga menghapus unsur pasal dengan sengaja (dolus)yang dimaksudkan didalam pasal tersebut, karena dolus Eventualis hampir sama dengan “kealpaan yang disadari” sebagaimana dimaksudkan di dalam Buku “Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik)”(Marpaung:Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh;Sinar Grafika, Cet. Pertama 2000);

Bahwa sangatlah beralasan jika kami selaku kuasa hukum terdakwa mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum terkesan seakan-akan memaksakan agar terdakwa dapat didakwa dengan pasal yang berat tersebut pasal 340 KUHP, karena toh dalam realita hukum di Indonesia, kasus pemerkosaan dan sekaligus dilakukan mutilasi kepada korban atau yang terkesan merupakan pembunuhan berencana sekalipun, yakni didalam Yurisprodensi seperti Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 717 K/Pid/1984 tanggal 10 Oktober 1984 atas yang dalam kronologis dan kasus posisisnya korban telah diperkosa sebelum akhirnya dimutilasi, akan tetapi majelis hakim yang memeriksa serta memutuskan kasus tersebut mulai dari Putusan Pengadilan Negeri Tahuna No:17/1983/Biasa tanggal 12 Maret 1984, Putusan Pengadilan Tinggi NO:29/Pid/1984/PT Mdo. tanggal 12 Mei 1984 dimana alasan Mahkamah Agung untuk menolak pasal 340 KUHP yang dibawakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus tersebut dengan alasan bahwa unsur “Merencanakan Terlebih Dahulu” tidak diperlukan waktu yang lama antara saat perencanaan itu timbul dengan perbuatan tersebut dilaksanakan; hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilaksanakan serta niat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu, oleh karena itu majelis hakim yang menangani perkara tersebut menyatakan Jaksa Penuntut Umum kurang jelas dalam alasan Tuntutannya dengan pasal 340 KUHP. (Marpaung:Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh;Sinar Grafika, Cet. Pertama 2000, Hal. 31-32);

Olehnya itu, apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah sangat seiring dengan Putusan di dalam Yurisprodensi di atas, maka olehnya itu selaku kuasa hukumj kami memohon kepada Majelis Hakim agar dapat menilai secara obyektif terhadap permasalahan ini.

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Sdr. Jaksa penuntut umum yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan.

Bahwa di dalam KUHAP terdapat Kaidah sebagai acuan untuk menuju sebuah kebenaran, yakni “Asas Equality Before The Law” yang berarti “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”;

Timbul Pertanyaan, kami apakah Jaksa dalam tuntutannya sudah sesuai dengan aturan main yang dikehendaki oleh Undang-Undang serta peraturan yang berlaku berikut apakah Tuntutan jaksa dengan sandaran pasal 340 KUHP tersebut, telah sesuai dengan rasa keadilan, tanpa embel-embel manipulasi dalam menaikkan predikat kesalahan bagi Terdakwa yang tidak memiliki financial, dan tidak bersedia melakukan lobi-lobi lainnya??? Jaksa Penuntut Umum yang telah menjadikan serta menggiring kasus ini dengan dakwaan pembunuhan berencana, telah menjadikan asumsi kita selaku penasehat hukum terdakwa bahwa jaksa penuntut umum dalam kasus ini, tidak tergetar hatinya untuk memulai dengan pemeriksaan secara lebih proporsional sesuai dengan sumpahnya pada saat diangkat menjadi Jaksa dimana sumpah tersebut bermaksud bahwa Dia akan senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, senantiasa melaksanakan tugas dan wewenang dalam jabatan dengan sungguh-sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, profesional, adil dan tidak membeda-bedakan dan lebih dari itu pertanggung jawaban secara horizontal kepada masyarakat, bangsa dan Negara serta pertanggung jawaban akhir secara vertical kepada Tuhan, Yang Maha Esa; Sehingga bertalian dengan perkara yang menimpa klien kami Suryadi Bin abdullah; Apakah Sumpah Jabatan di atas telah diimplementasikan sesuai dengan konstruksi Dakwaan dan Tuntutan yang akan dipertanggung jawabkan kepada terdakwa sudah memenuhi rasa keadilan?

Oleh karena itu patut kiranya bagi Majelis Hakim agar dapat memberikan penilaian yang arif dan bijaksana sebelum akhirnya menjatuhkan putusan bagi terdakwa. Hal ini kami sampaikan bukan semata dalam rangka membela kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, tetapi lebih dari itu patut kiranya bagi majelis hakim untuk mempertimbangkan pula konsekwensi dari putusan yang nantinya dijatuhkan oleh Majelis Hakim, karena penyebab sehingga terdakwa diadili saat ini, karena adanya salah paham antara terdakwa dan Korban sehingga timbul perasaan dendam dalam diri Terdakwa yang berujung pada kematian korban.

Agar dapat menjadi pegangan majelis hakim, bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut dengan membunuh korban, karena merupakan sebuah resfons atas hinaan korban terhadap terdakwa dimana terdakwa pernah dihina oleh korban ketika terdakwa hendak meminjami uang korban, maka korban mengatakan “Apakah sanggup membayar utang, sedangkan rumah kamu aja tidak memakai listrik” hal ini telah menjadikan munculnya dendam kesumat dari terdakwa dan terjadilah pembunuhan tersebut. Sehingga kondisi terdakwa pada saat melakukan atau dianggap melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana kami selaku penasuhat hukum Terdakwa merasa bahwa pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum kurang berkenan dengan aspek keadilan yang diharapkan dapat mencerminkan nilai kemanusiaan yang berkeadilan; Fenomena ini menunjukan bahwa dunia peradilan telah ambruk dan kacau, nyaris runtuh karena paradigma para Penegak Hukum yang masih berpola lama sehingga pendapat bahwa hukum sewaktu-waktu dapat diubah menjadi Alat Kejahatan (Law As A Tool Of Crime) itu benar adanya, dimana Terdakwa akan dituntut dengan Hukuman yang berat manakala dia atau Penasehat Hukumnya Tidak Kooperatif Dalam Hal Tertentu Dengan Jaksa, karena perbuatan Penegak Hukum seperti itu dengan menjadikan Hukum sebagai alat mereka dalam memeras masyarakat yang terkena masalah, merupakan kejahatan yang sempurna, para penegak hukum seperti itu sulit untuk dilacak karena diselubungi Hukum (Hukum Dijadikan Tameng) dan berada didalam koridor hukum (Liberal Dan Positivitik), hal ini memberikan interpretasi bahwa keberadaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini bukan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat melainkan untuk melindungi individu dengan senjata utamanya adalah kepastian hukum, sebagaimana perkara yang dihadapi sekarang ini.

“Hukum pada dasarnya hanya menghasilkan Keadilan Formal-Prosedural dan Teknikal semata, sehingga lagi-lagi melupakan sisi kebenaran Materiil, Keadilan yang Substansial dan Kemanusian (Prof.Dr.Sucipto Raharjo, Hukum progresif, Varia Peradilan hal,56-57)”;

Manakalah kita saksikan dalam kasus ini bahwa Jaksa harus mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam Undang-undang, bukan harus mengikuti order Penegak Hukum tertentu disaat-saat menegangkan yakni sebelum Dibacakannya Tuntutan???

Hal ini merupakan kesalahan fatal dan jelas-jelas melanggar Kode Perilaku Jaksa, seperti yang tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-067/A/JA/07/2007. Seharusnya peraturan itu dihormati oleh setiap insan Adhyaksa. Karena apa yang dilakukan jaksa dengan melakukan keteledoran dalam menuangkan pasal 340 ini sangat sarat dengan tendensi pemahaman yang subyektif dan jauh dari gambaran insan adyaksa yang Obyektif, Oleh karenanya, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan permasalahan ini sebagai bagian dari tidak profesionalnya Jaksa dalam menerangkan serta mengaitkan terdakwa dengan Pasal dimaksud.

Maka untuk itu, ditangan Majelis Hakimlah kami menaruh perhatian besar dalam perkara ini dimana Majelis Hakim sebagai Pejabat Negara yang ikut meletakkan dasar bagi perkembangan hukum ditanah air dapat menjadikan paradigma hukum progresif sebagai sarana untuk menjinakkan kekakuan dan kebekuan Undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:

yang mewajibkan hakim, untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat(Dr.Drs.AM.MUJAHIDIN,MH: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum, Varia Peradilan No.257 halaman 58-59);

Dimana dengan putusan Majelis atas dasar keyakinan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa., menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dapat dipertanggung jawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, melainkan lebih dari itu secara vertical kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Apalagi kasus seperti ini juga pernah terjadi pada tahun 1984 yang berakhir dengan Putusan yang adil sehingga sampai sekarang ini Putusan Pengadilan Tahun 1984 yakni didalam Yurisprodensi seperti Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 717 K/Pid/1984 tanggal 10 Oktober 1984 atas yang dalam kronologis dan kasus posisinya korban telah diperkosa sebelum akhirnya dimutilasi, akan tetapi majelis hakim yang memeriksa serta memutuskan kasus tersebut mulai dari Putusan Pengadilan Negeri Tahuna No:17/1983/Biasa tanggal 12 Maret 1984, Putusan Pengadilan Tinggi NO:29/Pid/1984/PT Mdo. tanggal 12 Mei 1984 dimana alasan Mahkamah Agung untuk menolak pasal 340 KUHP yang dibawakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus tersebut dengan alasan bahwa unsur “Merencanakan Terlebih Dahulu” tidak diperlukan waktu yang lama antara saat perencanaan itu timbul dengan perbuatan tersebut dilaksanakan; hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilaksanakan serta niat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu, oleh karena itu majelis hakim yang menangani perkara tersebut menyatakan Jaksa Penuntut Umum kurang jelas dalam alasan Tuntutannya dengan pasal 340 tersebut dapat dijadikan dasar oleh majelis hakim guna memutuskan Perkara ini;

Bahwa sebagaimana ayat Al-Qur’an yang membahas tentang pembunuhan, dinyatakan disana bahwa adanya hukuman bagi Terdakwa atau pelaku apabila ada desakan dari pihak keluarga korban, tetapi dalam hal ini jika tidak ada desakan atau keinginan dari pihak keluarga korban maka hukuman tersebut dirasakan sangat tidak cukup beralasan untuk dilaksanakan, hal ini sebagaimana ayat 178 Surat Al-BaQaroh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. 2:178)

Sehingga apa yang dilaksanakan oleh terdakwa adalah kesalahan akan tetapi pihak keluarga dari korban telah memaafkan segala kesalahan terdakwa serta memaklumi apa yang telah terjadi akibat perbuatan Terdakwa tersebut; olehnya itu nilai yang ada pada ayat diatas telah menegaskan bahwa apabila telah ada suatu pemaafan dari saudara korban, maka terhapuslah hukuman balas (Qishas) tersebut, kemudian melalui spirit yang ada dalam ayat tersebut diatas, telah menjadikan sebuah pengertian yang cukup jelas bahwa terdakwa sama sekali tidak mendapatkan pemberatan dari pihak keluarga korban, bahwa tidak adanya keinginan dari pihak keluarga korban untuk memberatkan terdakwa tersebut, telah menjadikan hukuman yang akan diemban oleh terdakwa pun setidaknya bisa berkurang dengan sendirinya demi hukum dan sandaran Ayat 178 Surat Al-Baqarah diatas.

Bahwa diterangkan pula dalam Teory Penderitaan dan penebusan/Penghapusan Dosa (Expiation/Atonement Theory) bahkan apa yang diinginkan oleh Kinberg yang menyatakan bahwa “kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan ketidaknormalan atau ketidakmatangan si Pelanggar atau sering disebut (The Expression Of An Offender’s Abnormality Or Immaturity)” yang lebih memerlukan perawatan daripada Pidana. Apalagi perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah sarat dengan adanya kondisi tidak stabil yang dialami terdakwa oleh karena itu kami meminta kepada hakim untuk melihat hal ini sebagai bahan pertimbangan lainnya dalam memutuskan perkara ini.

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Sdr. Jaksa penuntut umum yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan.

Berdasarkan pada apa yang telah kami uraikan di atas, maka sambil tetap mengharapkan putusan yang seadil-adilnya dari majelis hakim, maka perkenankanlah kami untuk menyampaikan hal-hal yang dapat meringankan terdakwa antara lain sebagai berikut:

1. Bahwa terdakwa berterus terang di dalam persidangan.

2. Bahwa terdakwa berlaku sopan di dalam persidangan.

3. Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya.

4. Bahwa terdakwa belum pernah di hukum.

B. PERMOHONAN

Bahwa dengan mengacu kepada apa yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, maka dalam rangka menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, kami sebagai Penasehat Hukum mohon agar Majelis Hakim dalam perkara In Casu yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya kepada terdakwa dan tanpa syarat akibat penerapan Pasal yang salah oleh Jaksa berdasarkan pertimbangan hukum yang jujur dan adil dari Majelis Hakim;

2. Membebankan biaya perkara kepada Negara

3. Atau apabila majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon Putusan yang seadil-adilnya.

C. PENUTUP

Demikian Climentie (Permohonan Keringanan Hukuman) kami ajukan kehadapan persidangan yang mulia ini, semoga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini guna dapat mengambil putusan yang seadil-adilnya, hingga pada akhirnya kami selaku Penasehat Hukum haturkan terima kasih.

Hormat Kami

Penasehat Hukum Terdakwa

HUSEN TUHUTERU, SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar